Jumat, 27 Mei 2016

puisi


KESEPIAN DALAM MENUNGGU KEDATANGAN NYA
Di hari minggu yang hening, terasa kesepian yang amat mendalam di lubuk hati ini
Pikiran dan hati seolah tak sejalan saat kesepian menghampa
Terkadang hati ini bertanya, siapakah wanita yg menjadi tulang rusuk ini nantinya
Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan pun berlalu, dan tahun demi tahun pun berlalu
Tetapi hati ini tetep lah terasa sepi, entah sampai kapan hati ini berhenti merasakan kesepian, aku pun tidak tahu
Aku sangat berharap kesepian ini cepat berlalu
Di dalam kesepian ini hanya satu doa yang dapat ku ucap dan ku sebut
Ya allah lindungilah tulang rusukku di manapun dia berada, dan pertemukannlah kami di saat yang tepat nantinya
Terkadang angin membawa bisikan yang indah, di saat aku memikirkan tentang dia ,dan saat itu lah, terasa kebahagiaan yang hanya dalam angan-angan, walaupun hanya dalam angan-angan tetapi hati ini terasa sangat bahagia
Semoga tuhan mempertemukan kita di saat yang tepat dan dalam ikatan yang abadi
Amin . . . . . .
                                                              Karya Eki sandara 28-02-2016

Rabu, 25 Mei 2016

pengalaman pribadi


PENGALAMAN PRIBADI
Pemgalaman pertama yang saya alami saat kuliah ini iyalah, waktu itu saya sangat bingung dengan praturan-praturan di kampus dan saya tidak mengrtahui apa itu PA, saya sangat bingung apa itu PA karna di SMA dulu tidak ada istilah PA (penasehat akademik), ketika teman saya bertanya siapa PA saya, saya menjawab apa itu PA, dan teman saya pun menjelaskan nya bahwa PA itu adalah penasehat akademik, teman saya bilang kalau PA itu sebagai penasehat kita ketika kita mendapat kan masalah dan sebagai nya, dan PA itu sama Fungsi nya dengan wali kelas waktu di SMA, setelah di jelaskan oleh teman saya apa itu PA barulah saya mengerti apa itu PA. itulah pengalaman yang membingungkan yang pertama kali yang saya alami waktu menjadi seorang maha siswa.

Minggu, 22 Mei 2016

analisis cerpen


ANALISIS STRUKTUR DALAM CERPEN “Ketika Mas Gagah Pergi” KARYA Helvy Tiana Rosa

A.  Deskripsi Data
  Sumatra memang sudah di kenal sebagai daerah yang banyak mrlahirkan sastrawan- sastrawan ternama yang dapat diperhitungkan dalam dunia sastrawan Indonesia. Kenyataan ini di dukung oleh ke ikutsertaan sastrawan yang berasal dari Sumatra dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Seperti Helvy Tiana Rosa

a.       Biografi Tokoh
1.      Helvy Tiana Rosa
Seorang cerpenis wanita yang lahir di Medan, Sumatera pada 2 April 1970 yang biasa dikenal dengan sebutan HTR. Ia menjadi salah seorang pelopor sastra Islami di Indonesia. Tak hanya menunjukkan kiprah-nya di Tanah Air, HTR juga memiliki berbagai prestasi yang terekam di dunia Internasional. Sebuah karya fenomenal dari penulis ini yang telah berhasil menginspirasi banyak orang untuk menemukan hidayah ialah cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi”. Ia jua adalah pendiri Forum Lingkar Pena dan merupakan seorang dosen Fakultas Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Jakarta. Seorang cerpenis wanita yang lahir di Medan, Sumatera pada 2 April 1970 yang biasa dikenal dengan sebutan HTR. Ia menjadi salah seorang pelopor sastra Islami di Indonesia. Tak hanya menunjukkan kiprah-nya di Tanah Air, HTR juga memiliki berbagai prestasi yang terekam di dunia Internasional. Sebuah karya fenomenal dari penulis ini yang telah berhasil menginspirasi banyak orang untuk menemukan hidayah ialah cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi”. Ia jua adalah pendiri Forum Lingkar Pena dan merupakan seorang dosen Fakultas Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Jakarta.
b.      Sinopsis Cerpen “............” Karya

B.      Analisis Data
1. Cerpen “Ketika Mas Gagah pergi” Karya Helvy Tiana Rosa
a. Struktur Cerpen




1. Alur
  Untuk menemukan alur yang di gunakan oleh struktur pengarang di dalam cerpen ini, peneliti berusaha melihat rangkaian pristiwa yang terdapat dalam cerpen. Ramhkaian peristiwa tersebut adalah sebagai berikut
1.      Keberadaan tokoh aku (Gita) ia sedang bingung dengan perubahan sikap sodara kandung nya yaitu mas gagah
2.      Perubahan sikap mas gagah yang dulu nya sangat dekat dengan gita membuat gita heran dan marah
3.      Sedangkan gita adalah cewek yang tomboy
4.      Perubahan mas gagah di mulai saat ia mulai membaca buku-buku tentang islam
5.      Tak lama kemudian gita pun mendapat kan hidayah setelah ia mendengarkan saran dan masukan dari mas gagah
6.      Mas gagah sangat aktif di bidang ke agamaan
7.      Gita pun mulai tertarik degan buku-buku agama
8.      Mas gagah sangat senang dengan perubahan gita yang mulai mau membaca buku-buku agama
9.      Sontak gita teringat kalau ia akan ulang tahun dan ia ingin acara ulang tahun nya di isi dengan ceramah yang akan di bawakan oleh mas gagah nya
10.  Mas gagah tidak mengetahui bahwa gita ingin ia mengisi acara ulang tahun gita dengan ceramah nya
11.  Mas gagah pun pergi berceramah di daerah bogor
12.  Gita merasa cemas karna takut mas gagah nya tidak pulang
13.  Setelah lama menunggu gita mulai bertanya pada ibunya apakah mas gagah nya pulang atau tidak
14.  Tak lama kemudian gita mendengar suara deringan telpon rumah nya
15.  Ternyata telpon itu duka bagi gita, pihak rumah sakit mengatakan bahwa mas gagah nya kecelakaan
16.  Setelah tiba di rumah sakit mas gagah terbaring tak berdaya dan akhirnya meninggal dunia
17.  Gita sangat sedih dengan kepergian mas gagah nya
18.  Secara kronologis cerpen ini di buat oleh pengarang nya menggunakan alur maju. Pada bagian awal cerpen ini terlihat kegelisahan gita akan berubahan sikap mas gagah nya, dan ia sangat penasaran mengapa mas gagah nya bias berubah sejauh itu, tampa di sadari gita pun berubah, ia mengikuti mas gagah nya, mas gagah kecelakaan dalam perjalanan pulang setelah mengisi acara ke agamaan di bogor, gita sangat sedih dan ia bergeges ke rumah sakit, setelah tiba di rumah sakit mas gagah Cuma nyampai kan kalimat Alhamdulillah karna telah melihat adik nya memakai jelbab dan setelah itu mas gagah pun meninggal duna, gita pun sangat sedih dengan kepergian mas gagah nya.

2.      Penokohan
a.       Aku (Gita)
Gita merupakan sosok seorang wanita yang tomboy dan sangat dekat dengan kakak nya yaitu mas gagah, itu terlihat dari keingintahuan gita pada perubahan sikap mas gagah yang dulu bergaul pada semua orang. Tetapi sekarang telah berubah menjadi tertutup.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga. 
terlihat dari kutipan di atas bahwa gita sedang cemas pada mas gagah nya yang tak pulang-pulang
3.      Latar
  Ruang lingkup sebuah karya sastra fiksi hakikatnya adalah keberadaan sebuah dunia yang dibangun oleh si pengarang. Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Oleh karena itu, latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan; melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian latar ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.       Latar Tempat
Rumah merupakan ruang dalam cerpen ini, di dalam rumah pengarang menggambarkan keberadaan tokoh serta pristiwa yang di alami oleh para tokoh, hal ini dapat di lihat dari kutipan di bawah ini
"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum meberi salam

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. 

Dari kitipan diatas bahwa kantin sekolah yang di gambarkan oleh pengarang di dalam cerpen merupakan latar tempat yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap para tokoh nya. Di sekolah sebagai tempat Gita bersekolah, sebelum ia pulang kerumah ia pergi kerumah temannya. Dan akhir nya ia pulang untuk menemui masgagah nya.

b. Latar Waktu
 Latar waktu digunakan dengan tujuan melukiskan kapan suatu peristiwa terjadi. Latar waktu pada cerpen ini sangat erat kaitannya dengan latar tempat yang sudah dipaparkan sebelumnya. Latar waktu dalam cerprn ini di mulai pada siang hari

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah. 

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku. 

Latar waktu yang ditampilkan dalam kutipan di atas sangat menunjang suasana  yang sedang di alami oleh sang tokoh sehingga cerita tampak hidup dan terkesan alami. , maka secara umum latar waktu yang ditampilkan dalam cerpen ini meliputi pagi dan malam hari. Latar tempat dan latar waktu di atas sangat berpengaruh terhadap alur cerita. Keduanya menunjukkan adanya kelogisan cerita karena setiap peristiwa tidak akan pernah terlepas dari latar tempat dan waktu.

4.      Tema
Tema merupakan pokok permasalahan atau konflik sentral yang terkandung di dalam cerpen. Karena tema cerita tidak secara langsung disampaikan oleh pengarang, maka untuk mempermudah menentukan tema, peneliti mencoba mengemukakan konflik utama yang mendukung terbentuknya sebuah tema. Konflik tersebut adalah sebagai berikut.

ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana… 

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam! 

"Assalaamu’alaikum!"seruku. 

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. 

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. 

"Matiin kasetnya!"kataku sewot. 

"Lho memangnya kenapa?" 

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut. 

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!" 

"Bodo!" 

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." 

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" 

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…" 

"Pokoknya kedengaran!" 

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!" 

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. 

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa tema yang diangkat oleh pengarang dalam cerpen ini menyangkut permasalahan social antara adik dak kakak, yaitu perubahan sikap mas gagah kepada gita yang mwmbuat gita penasaan dan heran, walaupun gita sworang yang tomboy, lama kelamaan dia juga berubah menjadi wanita yang manis setelah ia mendengar perkataan dari mas gagah nya
Tokoh (Gita) yaitu seorang gadis yang tomboy yang berubah menjadi wanita yang manis setelah mendengar nasehat dari mas gagah nya
Tokoh mas gagah yang dulu nya gaul dan akhir nya berubah setelah membaca buku-buku tentang islam dan di dalam cerpen ini pengarang juga memberi tahu pembaca bahwa agama islam adalah agama yang indah.

cerpen analisis


Ketika Mas Gagah Pergi
Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA. 

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku. 

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol. 

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya. 

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?" 

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!" 

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?" 

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga. 

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya? 

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius. 

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat! 

Itulah Mas Gagah! 

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana… 

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam! 

"Assalaamu’alaikum!"seruku. 

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. 

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya. 

"Matiin kasetnya!"kataku sewot. 

"Lho memangnya kenapa?" 

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut. 

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!" 

"Bodo!" 

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar." 

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!" 

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…" 

"Pokoknya kedengaran!" 

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!" 

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah. 

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?" 

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah. 

Oala. 

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. 

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!" 

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala! 

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya. 

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?" 

"Lain gimana Ma?" 

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…" 

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun." 

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng." 

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan. 

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?" 

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!" 

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!" 

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?" 

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!" 

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim." 

Mas Gagah tersenyum. 

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku. 

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?" 

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. 

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam. 

"Mau kemana Gita?" 

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya." 

"Ikut Mas aja yuk!" 

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!" 

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut. 

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah. 

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng. 

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt." 

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh! 

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya. 

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami. 

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." 

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah. 

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham." 

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa. 

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba. 

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…" 

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana. 

"Mbak Ana?" 

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah. 

"Hidayah." 

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!" 

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah. 

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku. 

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman… 

"Cuma lagi baca!" 

"Buku apa?" 

"Tumben kamu pingin tahu?" 

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku. 

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah. 

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu. 

"Maaas…" 

"Apa Dik Manis?" 

"Gita akhwat bukan sih?" 

"Memangnya kenapa?" 

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja. 

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu. 

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. 

"Mas kok nangis?" 

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit." 

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli… 

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba. 

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya. 

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?" 

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam. 

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah. 

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut. 

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!" 

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda. 

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng. 

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama." 

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau. 

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya. 

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah. 

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum. 

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah. 

"Lho! " Mas Gagah bengong. 

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!" 

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar. 

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati. 

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah. 

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami. 

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang. 

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama. 

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku. 

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…" 

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. " 

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku. 

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah. 

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama. 

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga. 

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi. 

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. 

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa. 

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa." 

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya. 

"Kriiiinggg!" telpon berdering. 

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?" 

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas. 

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah. 

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. 

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan. 

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku. 

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar." 

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram. 

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir. 

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak. 

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku. 

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga." 

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.." 

"Gita…" suaraku serak menahan tangis. 

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!. 

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik. 

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya." 

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi. 

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang. 

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali. 

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka. 

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah. 

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu. 

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul. 

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata. 

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah. 

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar. 

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah. 


Epilog: 

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris. 

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini. 

Setitik air mataku jatuh lagi. 

"Mas, Gita akhwat bukan sih?" 

"Ya, insya Allah akhwat!" 

"Yang bener?" 

"Iya, dik manis!" 

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!" 

"Kok nanya gitu sih?" 

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?" 

"Ganteng kan?" 

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?" 

"Ya always dong, jihad itu…" 

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah! 

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!